"SANG PRIMADONA YANG AKAN BERSINAR"
Oleh : Agnes P. Ndendong
Awalnya cerita tentang Kalang Maghit aku dengar dari mulut teman-teman Dinas Kehutanan yang sudah pernah bertugas kesana dan aku menanggapinya dengan biasa-biasa saja mungkin karena yang menceritakan kurang menggebu-gebu untuk menarik minatku atau karena aku sendiri yang kurang berminat mendengar cerita tersebut.
Berkali-kali aku diajak untuk berkunjung namun ada saja halangan dan keengganan sehingga gema Kalang Maghit timbul tenggelam dalam ingatan dan minatku. Apalagi bila mendengar keluhan teman-teman yang tubuhnya pegal-pegal setelah kembali dari Kalang Maghit akibat akses jalan yang sangat memprihatinkan.
Selain cerita teman-teman, aku juga tahu tentang Kalang Maghit dari data Dinas Kehutanan baik dari sektor peternakan maupun kehutanan dan perkebunan yang seluruh pengolaannya sudah diserahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai. Melihat data-data tersebut tersirat dalam benakku untuk melihat langsung, seperti apakah dia ? Waktu terus berlalu seiring dengan rasa penasaranku yang belum kesampaian akibat rutinitas kantor yang tidak bisa ditinggalkan.
Terjawab sudah angan-anganku ketika diajak teman untuk melakukan monitoring pelaksanaan kegiatan pembersihan lahan dan pemangkasan tanaman Jati Emas dan Jati Super. Aku menyambut ajakan itu dengan sangat antusias walau ada yang meragukan kelancaran perjalanan kami karena menurut mereka medanya cukup berat, bagiku yang penting niat ke Kalangmagit tercapai. Semangatku bertambah tatkala mengingat sebentar lagi dia bukan milik kita dia akan menjadi milik orang Manggarai Timur. Bahagia campur haru menyatu dalam dada, aku akan melihat Kalang Maghit untuk pertama dan mungkin untuk terakhir kali.
Tepatnya tanggal 4 Agustus 2007 pagi kami berangkat ke Kalang Maghit, sebelum berangkat rombongan berkumpul di kantor Dinas Kehutanan. Rencana keberangkatan agak molor akibat kendaraan yang akan mengantar kami belum tiba di tempat. Sambil menunggu mobil Paroli yang merupakan kendaraan andalan Dinas Kehutanan khusus pada jalan bermedan berat aku memeriksa semua barang bawaan. Ransel kecilku sudah terisi penuh, ada topi dingin, selimut, pakaian ganti, sikat gigi, odol, sabun, senter, permen, obat sakit perut, autan serta tak lupa obat antimo karena mabuk kendaraan suka kumat. Isi ranselku cukup untuk bisa nginap semalam di Kalang Maghit.
Kami meninggalkan Kota Ruteng pukul 8.30 pagi. Mobil Patroli melaju cepat mengingat kondisi jalan Wae Lengga - Kalang Maghit tidak semulus Ruteng – Wae Lengga sehingga kalau berjalan santai ada kemungkinan kemalaman di jalan. Akibat sopir memacu kendaraan terlalu cepat perutku menjadi mules dan sesak, rupanya penyakit lama mulai kumat padahal sudah menelan satu butir obat antimo. Seorang teman meminta sopir untuk menghentikan kendaraan bila melihat pohon jambu biji di pinggir jalan. Katanya mabukku akan hilang kalau sudah mengkonsumsi buah jambu muda atau pucuk daun jambu. Rupanya pohon jambu di sepanjang jalan belum ada yang berbuah sehingga hanya pucuk daun jambu yang kami dapat. Kalau bukan karena sakit aku lebih memilih untuk tidak memakannya, aduh ....pahitnya minta ampun, tapi apa boleh buat demi niatku ke Kalang Maghit.
Pukul 11 siang kami tiba di Wae Lengga. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Kalang Maghit kami sempat beristirahat di rumah seorang .kenalan. Kehadiran kami disambut dengan sangat ramah. Saat sedang melepas lelah di teras depan ibu pemilik rumah muncul membawa kopi panas plus ubi tese. Sang pemilik rumah yang baik hati sangat tahu apa yang kami inginkan, membuat semua pegal-pegal hilang seketika dan perut yang mulai keroncongan terisi penuh.
Setelah beristirahat selama kurang lebih 45 menit di Wae Lengga kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari Wae Lengga memasuki wilayah Desa Gunung jalannya berbatu dan berdebu. Kalang Maghit berada di wilayah Desa Gunung Kecamatan Kota Komba. Melewati perkampungan terakhir aku sempat tertegun melihat hamparan padang sejauh mata memandang. Di kiri kanan jalan berjejer pepohonan yang didominasi oleh pohon Kedondo dan pohon Gamal. Ada juga pohon Jati namun jumlahnya sangat terbatas. Pada beberapa tempat terdapat hamparan Jambu Mete. Lahan Desa Gunung belum didikelola secara maksimal, mungkin karena perbandingan antara jumlah penduduk dan luas wilayah yang tidak signifikan. Hal ini terlihat dari pemukiman pendududk yang masih sangat sedikit di sepanjang jalan, lebih didominasi oleh lahan kosong yang belum digarap.
Walaupun jalan berbatu dan berdebu perjalanan menjadi nikmat karena disuguhi pemandangan yang sangat menarik dari segala penjuru. Terlihat nun jauh disana Gunung Ebulobo dan hamparan pegunungan Kabupaten Ngada berdiri kokoh menunjukkan keperkasaanya, pantai Aimere dan pantai Wae Lengga memamerkan kemolekannya. Di kiri kanan jalan tampak beberapa kelompok hutan dengan populasi tanaman yang terbatas menghiasi perbukitan dan lembah yang diselimuti padang ilalang, turut melengkapi kekaguman kami.
Di pertigaan menuju kampung Lete mobil patroli mengambil jalan ke arah kanan melewati jalan tanah yang baru dirintis. Kami mengambil keputusan untuk tidak melewati kampung Lete karena waktu tempuh akan lebih lama 1 jam. Debu megepul ke udara ketikan mobil patroli melaju cepat, aku memperketat lapisan penutup kepala dan hidung agar terhindar dari polusi debu. Untung kami meliwati jalan tersebut saat musim kemarau sehingga perjalanan lebih mulus, seandainya dilewati saat musim hujan perjalanan akan lebih lama karena pada beberapa lokasi terdapat kubangan lumpur yang sulit dilewati. Ketika kendaraan mulai memasuki medan yang cukup berat aku berpegangan kuat pada besi yang melitang di belakang tempat duduk. Mobil patroli sempat berhenti. Kondisi jalan sangat jelek sehingga seluruh rombongan harus turun dari kendaraan. Mobil perlahan merayap menaiki pungung jalan yang agak menanjak dan rusak berat, beberapa kali usahanya sia-sia. Aku merasa ngeri melihat moncong mobil terangkat seolah-oleh akan salto ke belakang. Sambil menunggu kendaraan yang sedang berjuang melewati jalan jelek, aku bersama seorang teman cewek melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Lambaian daun ilalang menebar aroma segar mengiring derap napas kami yang mulai ngos-ngosan akibat kelelahan berjalan kaki. Nun jauh di dasar lembah yang tidak curam tampak seekor sapi liar memandang seakan ingin menyapa selamat datang di wilayah Desa Gunung. Setelah beberapa menit berjalan kaki terdengar suara mobil mendekat, aku merasa lega karena bisa melanjutkan perjalanan ke Kalang Maghit. Mobil pateroli kembali melaju cepat, kepulan debu terus menemani perjalanan panjang kami. Wajah yang mulus terus dilapisi debu yang semakin tebal.
Tiba di pertigaan kampung Ritapada kembali kami mengambil keputusan untuk memilih jalan pintas, kami tidak melewati kampung tersebut karena waktu tempuh akan lebih lama ½ jam. Dari kejauhan terlihat berjejer kampung Mokorita dan kampung Ritapada yang turut meramaikan keheningan alam Desa Gunung.
Aku merasa senang ketika meliwati sebuah sungai kecil yang airnya jernih. Sungai itu bernama Wae Ular, entah karena ada banyak ular di hutan sekeliling sungai tersebut atau sekedar diberi nama. Kendaraan berhenti tepat di tepi sungai, rupanya saat itu sedang ada perburuan rusa. Para pemburu meninggalkan seonggok kayu yang sedang menyala di tepi sungai. Bagi pemburu sungai merupakan tempat strategis dalam berburu rusa karena binatang tersebut suka mengunjungi sungai guna melepas dahaga. Gemercik air menarik hasratku untuk melangkahkan kaki dan menikmati kesegaran Wae Ular. Kubasuh wajahku perlahan menghilangkan debu yang telah menyatu dengan kulit. Kesejukan air sungai terasa mengalir ke sekujur tubuh turut menyapu lelah dan kepenatanku setelah melakukan perjalanan panjang.
Aku merasa cukup segar ketika mobil pateroli kembali melaju meninggalkan sungai Wae Ular. Selang beberapa menit kendaraan kami dihentikan oleh seorang bapak dan istrinya yang sedang hamil, juga bersama mereka seorang anak laki-laki yang masih berumur kurang lebih 5 tahun. Kami mengijinkan mereka menumpang mobil Patroli karena tidak ada kendaraan lain yang akan melintasi jalan tersebut. Aku sempat tertegun ketika ibu itu bercerita kalau mereka baru pulang dari Aimere untuk menjual lombok hasil panen dari kebun. Berangkat dari Wae Lengga pukul 8.00 pagi dan saat itu sudah pukul 14.30, jarak yang telah ditempuh dari Wae Lengga sampai tempat pertama kali kami bertemu kurang lebih 27 km. Luar biasa bhatinku. Seorang ibu hamil telah berjalan kaki melintasi padang ilalang dibawah teriknya matahari hanya untuk menjual lombok dengan hasil penjualannya cuma Rp. 20.000,-. Perjuanagan hidup orang kecil yang jauh dari ingatan kita. Kalau direnung hidup ini sebenarnya tidak adil, ada yang mudah mendapatkan dan mudah pula menghabiskan uang dalam jumlah banyak hanya untuk kesenangan sesaat yang tidak berguna, sementara ada yang harus mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan sesuap nasi.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 sore, mobil patroli akan memasuki areal pegembangan Kalangmaghit. Dari kejauhan terlihat hamparan hutan jati yang sangat luas, sungguh luar biasa ternyata sehebat itu kah Kalangmaghit? Ketika mobil memasuki areal pengembangan Jati Emas kami sempat terkagum-kagum melihat deretan tanaman jati berdiameter 7 cm tumbuh subur, ditata rapih dengan jarak yang sama sungguh indah dipandang mata.
Kedatangan kami disambut gembira oleh petugas teknis dan para pekerja yang saat itu sedang bekerja menebas rumput dan memangkas cabang pohon jati. Jumlah pekerja cukup banyak lebih dari lima puluhan orang. Kedatangan kami memang bertujuan untuk memonitoring perkembangan hasil pekerjaan mereka. Setelah berbasa basi dengan para pekerja kami diajak ke pondok kerja Dinas Kehutanan untuk beristirahat sambil menikmati suguhan kopi panas dan ubi rebus pulus sambal pedas.
Harumnya aroma Kalang Maghit membangkitkan hasrat untuk melanjutkan niat menyisir seluruh wilayah pengembangan. Perjalanan dimulai dari lahan yang ditanami kayu mahoni berumur 3 tahun, luasnya 24 Ha (23.215 pohon), kemudian menuju lahan jati emas berumur 4 tahun seluas 2 ha (3.050 pohon) dan 5 tahun seluas 8 Ha (13.017 pohon) merupakan buah karya rekan kami tercinta Almarhum Bapak Aman Anselmus, semoga jasamu akan selalu dikenang. Selanjutnya ke lahan jati emas berumur 6 tahun seluas 12 Ha (18.187 pohon) yang merupakan jati pertama hasil pengembangan Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai. Semua tanaman Jati Emas tumbuh subur dan tertata rapih dalam satu hamparan, kami sempat ramai-ramai berpose di bawah pohon jati, bahkan ada teman yang minta untuk difoto saat lagi memangkas dahan jati. Yah.... hitung-hitung buat kenangan kalau kabupaten Manggarai Timur sudah berdiri sendiri.
Rombongan terus mengililingi wilayah pengembangan Kalang Maghit, langkah sempat terhenti ketika memasuki hamparan tanaman perkebunan seluas 52 ha, tak ketinggalan tanaman Mangga, Rambutan, Durian dan Jambu Mete turut melengkapi areal pengembangan Kalang Maghit. Sungguh..... seperti dalam cerita dongeng, ada taman firdaus di Kalang Maghit. Sayangnya saat itu belum musim buah. Kata teman Mangganya sangat manis dan kalau berbuah lebatnya minta ampun. Sudah bisa saya bayangkan kalau Mangga itu berbuah pasti ada yang sampai berjuntai ke tanah karena pohonnya tidak tinggi.
Di ujung lokasi pengembangan tanaman perkebunan ada perkampungan kecil, penduduknya sudah menetap selama puluhan tahun dan bermata pencaharian sebagai petani. Lahan garapan mereka berdampingan dengan lahan Pemda.
Setelah melewati perkampungan kecil kami berpapasan dengan sebuah traktor besar yang baru pulang mengangkut air, bak belakang penuh cerigen air. Yang menyetir traktor pak Frans Moni, walaupun sudah manula dia sangat lincah meneytir traktor. Traktor yang ada di Kalang Maghit berfunsi ganda, selain untuk menggarap lahan juga sangat membantu petugas dan para pekerja dalam mengangkut air minum karena sumber air cukup jauh dari tempat tinggal mereka.
Ketika memasuki lahan pengembangan Jati Super aku sempat terpesona, ternyata masih banyak harta yang terpendam di Kalang Maghit. Tanaman Jati Super tumbuh subur, dengan dimeter kayu sudah mencapai 7 cm seluas 20 ha (2.945 pohon), namun sayang saat itu gulmanya belum dibersihkan sehingga kelihatan kurang terawat. Kata Pa Herman pembersihan gulma dan pemangkasan tanaman Jati Super akan dilaksanakan setelah para pekerja menyelesaikan pembersihan gulma dan pemangkasan cabang di lahan Jati Emas. Kedua pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan secara serempak karena keterbatasan jumlah tenaga kerja. Sulit mendapatkan tenaga kerja di Kalang Manghit, banyak yang hanya datang sebentar kemudian pergi karena tidak betah.
Di ujung lahan pengembangan Kalang Maghit berjejer bangunan yang tertata rapih, namun sayang kondisinya sangat memprihatinkan karena sudah lama tidak ditempati oleh para petugas. Mereka lebih memilih tinggal di pondok kerja karena letaknya lebih strategis. Dasar orang hutan lebih suka tinggal di gubug.
Setelah melihat-lihat bangunan kami melanjutkan perjalanan menuju tempat persemaian bibit Mahoni. Bibit tersebut akan digunakan untuk mengganti tanaman mahoni yang mati di lokasi penanaman. Dekat tempat persemaian ada bak air yang merupakan sumber air minum, mandi, cuci dan menyiram tanaman saat musim kemarau. Airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.
Karena hari mulai gelap rencana ke Rens Sapi dibatalkan. Kami memutuskan untuk kembali ke pondok kerja melewati hamparan lahan Jambu Mete dan lahan Mahoni. Semua tanaman tumbuh subur dan tertata rapih. Menurut informasi pak Herman total seluruh ternak sapi di Kalang Maghit sebanyak 33 ekor (19 ekor induk sapi dan 14 ekor anak sapi).
Malam panjang di Kalangmaghit kami habiskan dengan ngobrol bersama para pekerja. Suasananya sangat ramai dan penuh akrab. Mereka bukan pekerja tetap, bila musim kerja tiba baru mereka datang, malah sering gonta ganti orang karena banyak yang tidak betah dan jatuh sakit. Pekerja tetap di Kalang Maghit hanya petugas teknis Dinas Kehutanan. Saat itu ada pekerja yang tidak bisa nimbrung bersama kami karena sudah dua hari menderita sakit, keesokan pagi akan diantar ke kampung Lete oleh beberapa orang temannya. Tidak ada kendaraan umum yang masuk ke Kalang Maghit, yang ada cuma ke Lete, itu pun jadwalnya hanya seminggu sekali yaitu setiap hari Rabu. Pada waktu areal Kalang Maghit baru dibuka kondisinya lebih parah, sempat seorang petugas teknis jatuh sakit, ditandu dari Kalang Maghit sampai Wae Lengga, sungguh sangat memprihatinkan. Ini mungkin PR yang perlu diselesaikan oleh Kabupaten Manggarai Timur yaitu membangun Puskesmas Pembantu di Kalang Maghit mengingat aset Kalang Maghit butuh para pekerja yang tangguh dan sehat untuk menjaga dan merawat Sang Primadona yang pasti akan bersinar. Kabupaten Manggarai telah menyiapkan harta yang melimpah untuk adiknya Kabupaten Manggarai Timur guna meningkatkan kesejahteraan anak cucunya. Yang penting dijaga dan dikelola dengan baik agar semuanya tidak sia-sia. Obrolan kami terhenti oleh mata yang mulai meredup, satu persatu pergi ke pembaringan tinggal teman-teman yang ingin menghabiskan malam panjang dengan bermain kartu.
Ketika mobil Patroli akan beranjak meninggalkan Kalang Maghit, ada perasaan aneh mengusik hati bahagia campur sedih, mungkin karena akan kehilangan sesuatu yang pernah aku kenal dan aku kagumi. Aku cuma sanggup melambaikan tangan ”Selamat berpisah Kalang Maghit, walaupun engkau akan menjadi milik Kabupaten Manggarai Timur kami akan tetap merasa bangga karena kamu pernah menjadi bagian dari Kabupaten Manggarai”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar